Jumat, 04 Maret 2011

Cerpen : Sahabat Jadi Cinta

Suatu hari di teras kelas sepulang sekolah, ketika semua murid-murid sudah pulang, hening rasanya. Saat itu aku baru saja selesai menyapu kelas karena hari ini giliranku untuk piket kelas. Tiba-tiba terdengar suara seorang cowok yang mengejekku. Dan suara itu terasa tak asing lagi di telingaku.

“Heh Mbok jamu! Besok jangan lupa bawa catatan IPA, Matematika sama Bahasa Indonesia-nya ya. Aku mau pinjam. Hehe,,,” kata Rian.
”Iya iya. . . Rewel banget sih!” bentakku.
”Eits,,, wait ! Oh ya, catatan IPS juga ya,,, “ kata Rian lagi.
“Ndak sekalian Bahasa Inggris-nya juga?” sambungku.
”Ah ndak usah repot-repot Mbok. Kan kalo Bahasa Inggris aku ahlinya. Hehehe,,,” jawab Rian.
”Hiddih sombongnya. Dasar kamu tukang becak!!! Ya udah aku pulang dulu ya.” kataku.
”Iya. Ati-ati ya mbok jamu. Moga-moga laris jamunya. Hehehe,,,” ejek Rian.
”Apaan kamu?? Kamu tuh yang ati-ati, tukang becak! Jangan ngelamun kalo lagi narik becak. Kasian tuh penumpangnya. Weeeek,,,” balasku.

Dasar si Rian. Teman cowokku yang satu ini memang banyak maunya. Padahal baru saja aku kenal dia sekitar sebulan yang lalu. Tapi dia sudah berani mengejek-ngejek aku. Dia sering mengejekku dengan sebutan “Mbok Jamu”, tidak tahu kenapa. Huh, padahal sebenarnya namaku bagus. Oh iya aku belum memperkenalkan diri. Namaku Viola Nurina. Aku biasa dipanggil Ola. Tapi cowok yang satu itu tidak pernah memanggil nama asliku. Sama sekali. Siapa lagi kalau bukan Rian si “Tukang becak” itu.
Muhammad Dwiandrian, itulah namanya. Atau yang biasa dipanggil Rian. Tapi aku biasa memanggilnya “Tukang becak”. Habisnya, dia suka mengejekku terlebih dahulu. Ya akhirnya aku balas mengejeknya. Biar seri, haha. 

Aku mulai kenal Rian waktu pertama kali masuk kelas 7. Ya, aku dan Rian sekarang kelas 7. tepatnya di SMP Bumi Putra. Tentu saja aku sekelas dengan dia di kelas 7-1. Dia sebenarnya anak yang baik. Dia sering membantuku ketika aku membutuhkan dia. Tapi satu hal yang paling menyebalkan dari dia, dia suka mengejek-ngejek aku. Sudah begitu dia juga suka meminjam buku catatanku. Meminjamnya pun tidak hanya satu, namun empat atau malah lima buku sekaligus. Tapi aku rasa dia anak yang pintar. Karena nilainya selalu bagus-bagus. Terutama nilai Bahasa Inggrisnya. Hanya saja dia kadang-kadang malas dan butuh seorang penyemangat.

                                                                             *****

Setengah tahun pun berlalu, aku dan Rian jadi semakin dekat saja. Yah, walaupun dia masih sering mengejekku. Namun sudah tidak sesering dulu. Dia juga sering curhat ke aku. Dalam sehari dia selalu saja SMS aku. Aku juga merasa nyaman bisa cerita-cerita sama Rian. Dia satu-satunya cowok yang dekat denganku. Sebelumnya aku belum pernah dekat sama cowok apalagi sampai curhat-curhatan seperti ini.
Esok hari ketika aku sedang berjalan menuju kelas, tiba-tiba ada seseorang yang mengagetkanku dari belakang.

“Dooooorrrrr!!!” teriak Rian sambil menepuk pundakku.
“Eh copot eh copot,,, Ih kamu tuh Yan, bikin kaget aja. Kirain siapa pagi-pagi gini.” kataku.
“Hehe,,, kamu kaget ya?” tanya Rian
“Ndak! Ya kaget lah! Orang tadi juga aku latah sih gara-gara kamu. Padahal biasanya aku ndak pernah latah lho. Gggrrhhh,,,” jawabku sewot.
”Hiddih gitu aja marah. Ntar cepet tua lho.” timpal Rian.
“Ya terserah aku ow.” jawabku.
“Jangan marah raa. Ntar ndak ada yang bisa tak ajak curhat-curhat lagi.” kata Rian memelas.
“Hiddih kok kamu yang jadi sedih gitu sih. Aneh ah kamu tuh. Haha,,, lucu-lucu. Kamu kalo kayak gitu malah lucu Yan. Kayak anak kecil yang ngerengek minta dibeliin balon. Hahahaha,,,” ejekku.
“Hehehe,,, Ya udah raa sana beliin aku balon. Beli balonnya yang bentuknya limas aja. Sana cari. Hahaha,,,” celetuk Rian.
”Ah udah ah. Aku mau masuk kelas aja. Daripada ngelayanin kamu ndak ada untungnya.” kataku sambil melangkah menuju kelas.
”Eh eh,,, Ola, tungguin aku dong,,,” panggil Rian.

Aku pun terus melangkah menuju kelas tanpa menghiraukan Rian. Sesampainya di depan kelas, ternyata pintu kelasku belum dibuka. Huh, akhirnya terpaksa aku menunggu di depan kelas. Aku melihat Rian sudah sampai di depan kelas juga dan akhirnya mengikutiku duduk di teras kelas. Disitu hanya ada aku dan Rian. Teman-teman yang lainnya belum berangkat. Kami pun berbincang-bincang dan bercerita tentang berbagai hal.

Pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang sedang berjalan menuju kelas mereka. Sepertinya mereka anak kelas 9. Aku pun mengganti topik pembicaraan.
”Eh Yan, pacaran tuh enak ndak ya?” kataku memulai pembicaraan baru.
”Haaaah??? Hahaha,,, kamu belom pernah pacaran?” kata Rian dengan nada mengejek.
”Iya, emang belom. Napa emang? Aku ndak pernah kepikiran buat pacaran gih.” sautku.
”Owh gitu to,,, ya pacaran tuh kadang ada senengnya kadang juga ada sedihnya. Pokoknya berbagai perasaan tuh campur aduk jadi satu. Hehehe,,,” jawab Rian.
”Ooo,,, kamu udah pernah pacaran Yan???” tanyaku.
”Udah dong. Mantanku malah ada lima kayaknya. Hehehe. . . Tapi aku ndak pernah awet kalo pacaran. Itu juga ada yang cuma tiga hari langsung putus. Soalnya aku tuh orangnya bosenan. Hehehe,,,” jawab Rian bangga.
”Busyeeettt,,, kecil-kecil gini kamu playboy juga ya. Dasar kamu!” celetukku.

Tak lama kemudian Pak Sobir, penjaga sekolah datang untuk membukakan pintunya. Kami pun segera masuk ke kelas. Rian memilih tempat duduk yang berada tepat di depanku. 

Malam harinya, ketika aku sedang belajar, tiba-tiba HP-ku bergetar. Drrrt. . .drrrt. . . Ada SMS rupanya, dari Rian. 

From : Rian
Makasi ya La, kamu udah sering nyupport aku.
Mulai sekarang kita sahabatan ya ?

Haha. . . Rian Rian. . . Aku senang sekali Rian menganggapku sebagai sahabatnya. Dan yang paling membuatku senang, dia memanggil nama asliku. Padahal biasanya dia selalu saja memanggilku dengan ejekan ”Mbok Jamu”. Aku langsung saja membalas SMS-nya.

Iya Yan. . . mulai sekarang kita sobatan ?
Aku akan selalu ada disaat kamu butuh bantuanku ?
Hehehe. . .
Send

SMS-ku pun terkirim. Mulai saat itu aku dan Rian bersahabat. Kami selalu menyemangati satu sama lain. Aku selalu membantunya disaat dia membutuhkanku. Begitu pula sebaliknya.

                                                                         *****

Hari-hari pun terus berlalu. Tahun pun juga telah berganti. Tak terasa aku sudah kelas 9. Dua tahun aku sekelas dengan Rian. Namun sekarang aku sudah tidak sekelas lagi dengannya. Aku berada di kelas 9-1, sedangkan dia berada di kelas 9-3. Walaupun begitu, aku masih tetap dekat dengan dia. Namun sepertinya kedekatanku dengan dia sudah tidak seperti dulu lagi. Entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar, aku merasa semenjak Rian sudah tidak sekelas lagi denganku, dia agak berubah. Dia menjadi lebih nakal dari sebelumnya. Dan dia pun sudah jarang SMS aku.

Sampai suatu saat aku merasakan firasat buruk. Pulang sekolah, ketika aku hendak keluar dari area sekolah, aku melihat Rian sedang berduaan dengan Linda, teman sebangkuku ketika kelas 8 yang sekarang sekelas dengan Rian. Seketika tubuhku kaku. Darahku seperti berhenti mengalir. Jantungku berdegup kencang sekali. Aku langsung saja keluar dari lingkungan sekolah. Nita, teman akrabku langsung mengikutiku. Aku melangkahkan kaki secepat mungkin menghindarkan diri dari kerumunan orang. Dan sampailah aku di sebuah trotoar jalan yang rindang dan sepi. Aku duduk di kursi yang ada disitu . Nita duduk disampingku.

”La,,, kamu kenapa? Kok tiba-tiba kamu langsung jalan gitu aja. Nggak nungguin aku dulu.” tanya Nita.
”Aku,,, aku ngerasain firasat buruk Nit. Ndak tau kenapa. Tiba-tiba aja datang firasat itu.” jawabku.
”Firasat buruk tentang apa La? Kamu harus cerita ke aku.” desak Nita.
”Rian Nit,,, Rian,,, Aku ngrasa Rian tuh tadi jadian sama Linda.” jawabku dengan suara parau.

Air mataku pun sudah tidak bisa dibendung lagi. Aku menangis. Entah apa yang membuatku bisa menangis seperti ini. Aku sendiri juga tidak tahu pasti. Rasanya ada yang masih mengganjal hatiku. Entah karena Rian jadian sama Linda yang dulu teman sebangkuku, ataukah karena Rian tidak pernah cerita tentang Linda kepadaku. Tidak tahu kenapa kali ini aku sungguh kecewa dengan Rian. Pipiku pun basah karena air mata yang terus berlinang. Nita pun mencoba menghiburku.

“La,,, mungkin kamu salah ngira. Mungkin aja Rian ada keperluan sama Linda. Kerja kelompok mungkin. Dia kan sekelas sama Rian.” kata Nita berusaha menghiburku.
”Ndak Nit,,, ndak,,, H-hatiku tuh berkata seperti itu. A-aku punya firasat buruk tentang Rian Nit. A-aku tau persis tentang dia. T-tentang Rian, Nit.” jawabku dengan suara sengau.
”Ya udah lah, La,,, kita lihat aja besok. Kalo nggak, kamu tanya langsung aja ke Rian, apa bener dia jadian sama Linda atau nggak. Kalo nggak SMS. Gimana?” usul Nita.
”Ndak Nit,,, aku ndak mau. A-aku ndak mau ikut campur urusan dia. A-aku ndak mau, Nit.” jawabku.
”Lho,,, bukannya kamu tuh sahabat Rian?” tanya Nita.
”Iya,,, T-tapi walaupun aku sahabatnya aku ndak mau ikut campur urusannya yang seperti ini, Nit. A-aku takut ntar malah dia jadi membenciku.” jawabku.
”Iya deh,,, iya,,, udah dong nagisnya. Ntar air matamu habis lho kalo nangis terus kayak gitu. Yuk kita pulang aja.” hibur Nita.

Aku pun tersenyum melihat Nita yang sudah berusaha keras menghiburku. Walaupun hatiku masih belum tenang. Akhirnya aku dan Nita pulang naik angkot. Sesampainya di rumah, aku segera masuk ke kamar dan menjatuhkan diri ke tempat tidurku. Aku kembali menangis. Rasanya hatiku belum bisa tenang karena peristiwa tadi. Aku ingin sekali SMS Rian. Aku ingin sekali menanyakan semuanya. Semua yang terjadi tadi siang. Entah kenapa rasanya hatiku tidak ikhlas Rian jadian sama Linda. Aku,,, aku seperti cemburu. Aku juga bingung dengan perasaanku sendiri. Padahal aku hanya sahabatnya Rian. Kenapa aku harus merasa cemburu seperti ini ketika melihat Rian berduaan sama Linda? Aku kan bukan pacarnya. Seharusnya aku tidak cemburu seperti ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku hanya bisa menangis.
Firasatku pun benar. Keesokan harinya, ketika di sekolah beredar kabar bahwa Rian jadian sama Linda. Hari itu aku tidak ketemu Rian. Mungkin dia sibuk mengurusi pacarnya yang baru itu. Dan aku pun tidak dihiraukannya. Malam harinya, aku berusaha tegar. Kemudian aku mencoba untuk SMS Rian.

Yan,,, selamat ya. Kamu sekarang udah punya pacar baru.
Cie cie. . . traktirannya dong
Send

Rian pun membalas SMS-ku.
From : Rian
Iya nih,,, hehe,,, makasih ya La ?
Iya deh bsok aku traktir. . .

Aku senang dia masih membalas SMS-ku. Namun aku takut jika dia masih tetap memperhatikan aku seperti ini, sedangkan dia sekarang sudah punya pacar. Aku takut merusak hubungannya. Selain itu aku takut kalau aku jatuh cinta sama dia. Tapi mungkin sudah terlambat. Mungkin aku memang telah jatuh cinta sama dia. Aku merasa tidak ikhlas saja kalau dia pacaran sama Linda. Jangan, aku tidak boleh jatuh cinta sama Rian. Dia kan sahabatku. Aku tidak mau persahabatanku sama dia rusak gara-gara aku jatuh cinta sama dia. Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku harus memendam perasaanku ini dalam-dalam. Aku harus melakukan hal itu.
Esoknya, Rian tidak jadi mentraktirku. Aku agak kecewa. Tapi mungkin lebih baik seperti ini. Daripada aku sakit hati melihat Rian dengan Linda. Lebih baik seperti ini. Awalnya aku memang syok ketika melihat Rian yang selalu saja sama Linda. Namun lama-kelamaan aku sudah bisa menerima hal ini. Rian pun sekarang tidak pernah SMS aku lagi. Aku juga berusaha untuk menetralkan kembali perasaanku. Melupakan semuanya dan menjalani hari-hariku tanpa mengingatnya. Aku pun akhirnya bisa melakukan itu. Aku sudah tidak tergantung dengan kehadiran Rian lagi. 

Sampai suatu saat aku melihat Linda sedang berduaan dengan seorang cowok. Entah cowok itu siapa. Aku tidak tahu. Dan sepertinya Linda dan cowok itu bertingkah laku tidak seperti halnya teman biasa, melainkan seperti sepasang kekasih. Aku berpikiran kalau Linda selingkuh dengan cowok itu. Namun aku tidak berani melaporkan hal ini ke Rian. Aku takut dia tidak percaya. Aku pun tetap bungkam dan berusaha tidak mengatakan padanya.

Dua hari kemudian, ketika aku berjalan di trotoar jalan sepulang sekolah, aku melihat Rian sedang duduk di kursi yang waktu itu aku duduki bersama Nita. Wajahnya murung sekali. Mungkin dia sedang ada masalah. Aku pun menghampirinya dan duduk disebelahnya. 

”Yan,,, kamu kenapa? kok wajahmu murung kayak gitu.” ujarku.
”Iya nih La,,, aku lagi ada masalah.” jawab Rian dengan suara parau.
”Masalah apa Yan? Cerita dong sama aku.” bujukku.
”Linda La,,, Linda selingkuh.” jawab Rian dengan singkat.
”Haaaah??? Linda selingkuh???” tanyaku memastikan.
”Iya,,, aku nggak tau kenapa dia nglakuin kayak gitu.” ujar Rian.

Sebenarnya aku sudah tau hal itu. Dan ternyata terbukti bahwa Linda memang selingkuh. Ternyata yang aku lihat waktu itu memang Linda dan selingkuhannya. Aku kasihan melihat Rian yang murung seperti ini. Aku mencoba untuk menghiburnya.

”Ya udah lah Yan,,, ndak ada yang perlu kamu sesali. Semua udah terjadi. Mungkin Linda cuma mau mainin kamu. Kamu ndak boleh lesu kayak gini. Kamu harus semangat kayak dulu lagi Yan. Pasti semua ini ada hikmahnya kok. Aku yakin itu.” hiburku. 

”Makasih ya La,,, kamu tetep aja baek kayak dulu. Aku minta maaf. Waktu aku pacaran sama Linda aku ndak pernah lagi peduli sama kamu. Maaf ya La.” ujar Rian menyesal.
”Iya Yan,,, ndak apa-apa kok. Kita kan sahabat. Sahabat kan harus selalu ada disaat kita butuh. Ya ndak?” kataku.

”Iya La. Aku janji aku akan selalu ada disaat kamu butuh aku.” ujar Rian sambil tersenyum.
Aku senang melihat senyumnya. Rasanya saat ini aku telah menjadi seseorang yang paling dekat dengannya. Malam harinya aku kembali merenung. Tidak tahu aku harus senang atau sedih. Senang karena aku bisa dekat lagi dengan Rian. Sedih karena usahaku melupakannya serta memendam dalam-dalam perasaanku ini gagal. Aku dilanda dilema. Aku bingung sekali dengan perasaanku ini. Aku teringat senyumnya tadi siang. tidak tahu kenapa aku merasa senyumnya itu tidak seperti biasanya. Senyumnya seperti benar-benar mengungkapkan perasaannya yang terdalam. Ah, tapi mungkin itu hanya perasaanku saja yang berlebihan.

Seminggu kemudian, ketika jam tambahan pelajaran, Rian sekelas lagi denganku. Dan tiba-tiba dia duduk di sebelahku. Deg. . . deg. . . Seketika jantungku langsung berdegup kencang. Entah kenapa, aku juga tidak tahu.

”La,,, aku boleh duduk sini kan?” tanya Rian.
”Emm,,, oh boleh,,, boleh aja kok. Silahkan aja.” jawabku dengan nada tersendat-sendat.
”OK. Makasih La.” ucap Rian.
”Oh ya sama-sama.” jawabku dengan mengembangkan senyum.

Ketika itu juga, perasaanku campur aduk. Ada senang, bingung, dan juga deg-degan. Yah, tapi mau bagaimana lagi. Rian sendiri yang meminta ingin duduk disebelahku. Awalnya sih terasa kaku. Entah kenapa. Padahal aku sudah cukup lama mengenal dia dan dia memang sudah sangat dekat denganku. Namun lama-lama seperti biasa juga. Rian memintaku untuk mengajarinya Matematika. Karena memang dia sulit untuk menangkap pelajaran itu. Sebaliknya, aku meminta Rian untuk mengajariku Bahasa Inggris. Tidak hanya hari itu Rian duduk disebelahku ketika jam tambahan. Hari kedua dan seterusnya pun seperti itu. Sampai-sampai banyak teman-teman yang mengira bahwa aku dan Rian pacaran. Padahal tidak. Aku sungguh tidak menyangkanya. Dan ternyata saat itu adalah saat terakhirku dekat dengan Rian.

                                                                               *****

Aku pun sekarang telah duduk di bangku SMA. Rian juga. Aku dan dia juga masih tetap berada di sekolah yang sama. Di SMA Bina Bangsa. Namun aku berada di kelas yang berbeda dengan dia. Dan semenjak masuk SMA dia tidak pernah lagi berhubungan denganku. Sama sekali tidak. Jangankan SMS, berbicara langsung dengannya saja tidak pernah sama sekali. Ketika ketemu saja dia menyapaku. Itu pun harus aku yang menyapanya terlebih dahulu. Jika aku tidak menyapanya terlebih dahulu, paling dia hanya menunjukkan senyumnya padaku tanpa menyapaku. Hal itu sangatlah aneh. Aku merasa dia berbeda. Tidak seprti Rian yang aku kenal dahulu. Sangat jauh berbeda. Aku seperti orang lain di mata Rian. Aku seperti orang yang baru saja dikenalnya. Dan bukan sebaliknya. Setiap aku mencoba untuk SMS dia, dia sama sekali tidak membalas SMS-ku. Aku ingin sekali menanyakan langsung tentang perubahan drastis yang terjadi pada dirinya. Ingin sekali. Namun aku tidak berani. Selain itu aku juga sudah tidak ada kontak dengannya walaupun hampir setiap hari ketemu.

Aku merasa sangat kehilangan dia. Walaupun raganya masih jelas terlihat oleh mataku, namun sikapnya sangat berbeda jauh. Dan itu seperti bukan Rian. Aku merindukan Rian yang dulu. Dan mungkin aku telah benar-benar mencintainya bahkan menyayanginya. Karena keadaan sudah semakin rumit seperti ini, aku mencoba untuk melupakan semua masa lalu yang pernah aku alami bersamanya. Sudah cukup sampai sini saja penderitaan batinku. Aku tidak mau hal ini terus berlanjut. Mencintai sahabat sendiri.
Waktu pun terus berjalan. Aku senang akhirnya bisa menetralkan kembali perasaanku. Aku sudah bisa menganggap Rian seperti halnya teman biasa. Rasa cinta itu telah hilang. Walaupun bayangannya masih tetap ada. Dan di dalam hatiku masih terukir bahwa Rian adalah sahabatku. Namun ternyata kisahku tidak hanya berakhir sampai sini.
                                                                                   *****

Suatu hari di tengah siang, matahari sedang teriknya menyinari jalanan aspal yang diselimuti dengan asap kendaraan bermotor. Ketika itu sedang liburan Semester 2 dan aku beranjak naik ke kelas IX. Aku baru saja pulang dari rumah temanku untuk mengerjakan tugas kelompok. Di tengah perjalanan pulang ketika aku sedang menunggu angkot di trotoar jalan, aku melihat ada seseorang yang mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Entah kenapa saat itu jantungku berdegup kencang sekali. Firasat buruk itu kembali muncul. Dan dalam beberapa detik terdengar suara yang mengagetkan semua orang. Ciiiitttt. . . Braaakkk. Ternyata seseorang yang mengendarai motor tadi tertabrak mobil. Aku langsung saja berlari menuju tempat kejadian perkara tersebut.

”Astaghfirullahal’adzim. . . Rian?!!” sontakku kaget.
Aku segera mengambil HP-ku yang berada di dalam tas dan menelpon rumah sakit untuk segera membawakan mobil ambulan.
”Rian. . . bertahanlah Rian. Bertahanlah sebentar lagi.”kataku sambil menyandarkan kepala Rian dipangkuanku.

Darah mengalir begitu banyaknya. Sampai darah itu turut mengalir di tangan dan sekujur badanku. Tak lama kemudian mobil ambulan pun telah tiba. Rian segera dimasukkan ke dalam mobil itu. Aku pun ikut masuk ke dalam. Di dalam mobil aku segera mengambil HP-ku dan mencari nomor telepon rumah Rian di kontakku. Langsung saja aku menelpon ke rumah Rian, dan sesaat kemudian ibu Rian mengangkatnya.

”Halo, ini siapa ya?” tanya ibu Rian.
“Bu, ini Ola, temennya Rian. Rian baru saja kecelakaan, Bu. Ini saya masih diperjalanan naik mobil ambulan menuju Rumah Sakit Bahtera. Rian ada disini dan kondisinya parah.” jawabku.
”Apa?! Rian kecelakaan??? Terus sekarang gimana keadaannya Nak Ola?” tanya Ibu Rian kaget.
”Rian pingsan, Bu. Pendarahannya banyak.” jawabku.
”Oh ya sudah. Ibu segera ke sana. Makasih ya Nak Ola.” kata Ibu Rian.
”Iya Bu, sama-sama.” jawabku sambil menutup pembicaraan.

Aku menatap wajah Rian. Kasihan dia. Dan tanpa terasa air mataku mengalir. Aku tidak kuat melihatnya. Badanku lemas sekali rasanya.

Sesaat kemudian sampailah kami di rumah sakit. Rian segera dibawa ke ruang UGD. Aku pun menunggu di ruang tunggu. Tiba-tiba ibu Rian datang dan segera menghampiriku. Ibu Rian sudah mengenalku karena dulu aku pernah main ke rumah Rian.
”Nak Ola, gimana keadaan Rian?” tanya Ibu Rian.
”Keadaannya parah, Bu. Darah yang keluar banyak.” jawabku dengan suara parau.
”Nak Ola, bajumu berlumuran darah itu. Kebetulan ibu bawa kaos punya Rian. Kamu pake ini aja.” kata Ibu Rian sambil mengambil kaos di dalam tasnya.
”Iya Bu. Makasih.” jawabku. Kemudian aku segera pergi ke toilet untuk mengganti bajuku yang berlumuran darah. Setelah selesai, entah kenapa tiba-tiba saja kepalaku pusing sekali. Semuanya seperti bergoyang-goyang. Pandanganku buyar. Badanku lemas sekali. Dan akupun tidak tahu apa yang terjadi setelah itu.

                                                                               *****

”Ola,,, ola bangun. Ola???” terdengar suara cowok yang agak parau.
”Iya,,, bangunlah Nak Ola.” terdengar pula suara wanita yang lembut sekali.
Pelan-pelan pelupuk mataku terbuka. Dan ternyata di hadapanku ada Rian dan ibunya. Rian duduk di kursi roda. Aku pun terbangun. Ternyata aku ada di tempat tidur di rumah sakit itu.
”La, kamu kenapa sih, aneh banget tau ndak? Haha.” kata Rian.
”Lho kamu udah ndak apa-apa Yan? Udah ndak sakit? Aku kenapa?” kataku bingung.
”Haha. . . kamu pingsan dua hari, La. Hahaha. . . dasar kamu. Aku justru udah ndak apa-apa kok.” jawab Rian sambil tertawa.
”Hah. . . what??? Aku pingsan dua hari? Lama banget?? Tapi kamu beneran udah ndak apa-apa kan Yan?” tanyaku kaget.
”Iya, haha. Beneran deh. Aku udah ndak apa-apa kok. Waktu itu katanya sih aku kekurangan darah. Tapi udah ada persediaan donor darah. Jadinya bisa langsung terganti darahnya yang hilang itu. Hehe. Kamu sendiri udah baikan kan?” kata Rian.
”Iya. Aku ndak apa-apa kok Yan. Hehe.”
”Rian, Nak Ola. Ibu keluar dulu ya.” kata Ibu Rian menyela pembicaraan.
”Iya, Bu.” jawabku dan Rian bersamaan. Kemudian kami tertawa bersama. Ketika itu aku merasa nyaman sekali. Bisa dekat lagi dengan Rian. Kemudian, suasana berubah. Sunyi sesaat.

”La,,, maaf ya akhir-akhir ini aku ndak pernah ngasih kabar ke kamu. Ndak pernah balas SMS-mu juga. Ndak pernah ngobrol-ngobrol lagi sama kamu. Itu karena aku sayang kamu, La. Aku ndak mau kamu sakit hati gara-gara aku. Aku ndak mau lihat kamu menangis gara-gara aku.” kata Rian tiba-tiba.
”Hahaha,,, kamu ngomong apa sih Yan??? Ngelindur ya?” jawabku dengan bercanda.
“Eh malah ketawa. Beneran lagi, La. Aku ngerasain hal ini udah cukup lama. Dan kamu tau sendiri kan kalo aku tuh orange kayak gimana. Aku tuh bosenan kalo sama cewek. Aku berusaha menghindar darimu agar perasaanku ini tuh ndak semakin kuat. Aku takut kalo aku jadiin kamu pacar, ntar malah ujung-ujungnya kita bisa bertengkar. Dan persahabatan kita pun akhirnya jadi sia-sia. Ini juga demi kebaikan kamu, La. Maafin aku ya kalo aku baru bilang sama kamu tentang perasaanku yang sebenarnya ini.” jelas Rian panjang lebar.
Aku tertunduk. Memikirkan hal yang baru saja Rian katakan. Ternyata apa yang selama ini aku rasakan sama seperti apa yang dirasakan Rian.

”Iya Yan. Ternyata yang kita rasain itu sama. Aku juga begitu. Tapi mungkin kita lebih baik seperti ini saja. Tetep sahabatan. Walaupun kita sama-sama sudah tau perasaan kita masing-masing, ndak ada salahnya kan kalo kita ngejalanin ini sebatas sahabat. Toh menurutku sama aja bukan. Kita masih tetep bisa curhat-curhat, bisa bercanda, bisa ejek-ejekan juga. Ya ndak??? Hahaha.” kataku sambil ketawa.
”Iya ya. Bener juga katamu, La. Yang penting kita bisa saling membantu satu sama lain. Dan yang lebih utama lagi kita bisa mengerti satu sama lain. Kita tetep jadi sahabat kan?” tanya Rian.
”Iya donk.” jawabku. Kemudian Rian memberikan jari kelingking tangannya kepadaku. Dan aku pun membalasnya dengan mengaitkan jari kelingkingku ke jari kelingkingnya.
”Best friend forever.” ucapku dan Rian berbarengan. Kemudian kami tertawa lagi.
”Haha. . . dasar kamu mbok jamu. Bisanya ikut-ikutan aja. Weeekkk.” ejek Rian.
”Heh. . . enak aja kamu bicara kayak gitu tukang becak. Bukannya kamu yang suka plagiat ya. Enak aja bilang aku yang ikut-ikutan.” balasku.
”Ow tidak bisa mbok jamu. Anda salah itu. Seharusnya lebih efektif lagi anda tidak mengatakan yang suka plagiat tetapi plagiator. Hahaha. . . Bahasa anda tidak efektif. Haha.” kata Rian sambil tertawa terpingkal-pingkal.
”Heh tukang becak, sejak kapan kamu jadi komentator kayak gitu. Ndak jelas banget ah. Dari pada ngurusin tukang becak mendingan aku ke toilet aja ah. Dadah tukang becak. Oh iya, sekarang kan tukang becaknya yang jadi penumpangnya ya. Haha. . .” ejekku.
”Haaah??? Penumpang?” tanya Rian bingung.
”Lha itu sih kamu kan lagi naik becak bukan narik becak. Hahahaha. . .” kataku sambil tertawa terpingkal-pingkal.
”Oh, ini sih kursi roda. Bukan becak tau. Dasar kamu.” jawab Rian.
”Hahaha. . . whatever.” jawabku singkat.

Tuhan pun ternyata telah menakdirkan aku dan Rian untuk tetap bersahabat walaupun kami telah mengetahui perasaan kami masing-masing. Dan semua pun akhirnya kembali seperti sedia kala saat aku pertama kali mengenal Rian, si ”Tukang becak”.


                                                                        ***SELESAI***
cerpen karya : Intan Nur Shabrina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar