Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani adalah adalah seorang pahlawan revolusi dan
nasional Indonesia. Beliau
lahir di Purworejo, 19 Juni 1922 serta wafat di Lubang Buaya, Jakarta, 1
Oktober 1965. Pendidikan
formal diawalinya di HIS (setingkat Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya
pada tahun 1935. Kemudian beliau melanjutkan sekolahnya ke MULO (setingkat
Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana beliau tamat pada tahun 1938, selanjutnya beliau masuk ke AMS
(setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas
dua pada tahun 1940.
Achmad Yani kemudian mengikuti
pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih
intensif di Bogor. Dari sana beliau mengawali karir militernya dengan pangkat
Sersan. Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di
Indonesia, beliau juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya
masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi pernah
diraihnya pada masa perang kemerdekaan. Achmad Yani berhasil menyita senjata Jepang
di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, beliau diangkat
menjadi Komandan TKR Purwokerto. Ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi,
pasukan Achmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan
Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi,
beliau dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang
meliputi daerah pertahanan Kedu.
Setelah Indonesia mendapat pengakuan
kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah. Gerakan DI/TII di Jawa
Tengah sebenarnya adalah bagian daripada gerakan DI/TII di Jawa Barat. Ketika
itu dibentuk pasukan Banteng Reiders yang diberi latihan khusus hingga pasukan
DI/TII pun berhasil dikalahkan. Pasukan Banteng Reiders adalah pasukan yang
dibentuk oleh Achmad Yani dalam rangka menumpas gerombolan DI/TI. Pasukan ini
dapat bergerak cepat dalam cuaca dan medan yang paling sulit dan memiliki
kemampuan menembak yang dapat dibanggakan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke
Staf Angkatan Darat.
Pada tahun 1955, Achmad Yani
disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leaven Worth,
Kansas, USA selama sembilan bulan. Pada tahun 1956, beliau juga mengikuti
pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris. Tahun 1958
saat pemberontakan Pemerintahan
Revolusioner RI (PRRI) terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih
berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk
memimpin penumpasan pemberontakan PRRI dan berhasil menumpasnya. Hingga pada
tahun 1962, ia diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Dengan adanya
pengalaman-pengalaman AD (Angkatan Darat) dalam operasi menumpas DI/TII, PRRI,
banyak hal yang ditemukan dan banyak pula yang harus dibenahi. Achmad Yani
membentuk komisi yang kemudian dikenal dengan nama Komisi Jani. Kerja mereka
berbulan-bulan dengan banyak mengadakan perjalanan ke daerah-daerah untuk
melihat keadaan dan kemampuan nyata AD. Untuk kerja Komisi Jani, beliau memilih
orang-orangnya sendiri. Hasil kerja Komisi Jani ialah suatu reorganisasi yang
menyeluruh, didasarkan pada konsep pertahanan keamanan rakyat secara semesta,
yang distrukturalkan terutama pada kehandalan organisasi teritorial. Setelah
menyelesaikan reorganisasi AD, Achmad Yani diperintahkan ke Eropa Timur memimpin suatu misi pembelian senjata.
Setelah Irian Barat diserahkan
pada Republik Indonesia timbul masalah lain dalam negeri ini. PKI (Partai
Komunis Indonesia) menjadi kuat karena mendapat dukungan dari Bung Karno. PKI
memanfaatkan peristiwa PRRI dengan propaganda seolah-olah PKI-lah yang membela
rakyat yang susah karena pemberontakan itu. Mereka sangat lihai memainkan
perannya sebagai bunglon, sehingga PKI mendapat legalitas dan simpati. Dalam
hal ini Achmad Yani kurang waspada.
Achmad Yani selalu berbeda
paham dengan PKI. Beliau tidak pernah setuju jika ada orang PKI duduk dalam
kabinet. Dan beliau tidak pernah setuju atau pun mendukung Nasakom (Nasionalis
Agama Komunis) sebagai tujuan akhir. PKI dan Angkatan Darat selalu bermusuhan
meskipun dalam hal ini Bung Karno menghalang-halangi agar jangan sampai
permusuhan tersebut muncul. Achmad Yani menolak keinginan PKI untuk membentuk
Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai.
Dalam menghambat perkembangan
pengaruh PKI, beliau melakukan berbagai upaya pada semua bidang dan tingkatan.
Bukan hanya melalui lembaga-lembaga politik formal, tetapi juga lembaga-lembaga
sosial politik lainnya. Oleh karena itu, ia menjadi salah satu target PKI yang
diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI Angkatan Darat melalui
Pemberontakan G30S/PKI (Gerakan Tiga Puluh September/PKI). Achmad Yani ditembak di depan kamar
tidurnya pada tanggal 1 Oktober 1965 (dinihari). Jenazahnya kemudian ditemukan
di Lubang Buaya, Jakarta Timur dan dimakamkan secara layak di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Achmad Yani gugur sebagai Pahlawan
Revolusi. Pangkat sebelumnya sebagai Letnan Jenderal dinaikkan satu tingkat
(sebagai penghargaan) menjadi Jenderal.